Friday, May 3, 2013

Jangan buang-buang kertas

Pernahkah anda menghitung berapa banyak kertas yang anda gunakan dalam sehari. Jika dalam sehari anda menggunakan 20 lembar kertas, maka dalam sebulan anda menghabiskan 600 lembar kertas. Dalam setahun, anda menghabiskan 7200 lembar kertas.

Kertas biasa kita pakai dalam aktivitas sehari-hari, dari untuk menulis, membungkus kado, pembungkus makanan, dan lain-lain. Dapatkah anda membayangkan bagaimana jadinya bila tidak ada kertas. Kertas biasa kita jumpai dan karena relatif mudah untuk mendapatkannya maka tidak heran jika pemakaian kertas cenderung sesuka hati penggunanya.

Tingkat kebutuhan kertas pun kemudian makin meningkat dari hari ke hari. Jika dahulu adanya komputer dan e-mail diyakini dapat mengurangi pemakaian kertas. Namun nyatanya tidak demikian, kebutuhan akan kertas tetaplah tinggi.
Tingginya kebutuhan akan kertas berimbas pada ketersediaan kayu, dimana kayu diolah menjadi bubur kertas (pulp) dan kemudian diolah lagi menjadi kertas. Menurut Prof. Dr. Sudjarwadi (UGM), 1 rim kertas setara dengan 1 pohon berumur 5 tahun. Untuk setiap ton, pulp membutuhkan 4,6 meter kubik kayu, dan 1 ton pulp menghasilkan 1,2 ton kertas. 1 hektar hutan tanamanan industri (acacia) dapat menghasilkan kurang lebih 160 meter kubik kayu. Jika pertahun diproduksi 3 juta ton pulp, maka membutuhkan 86.250 hektar hutan.


Daur ulang tumbuh acacia yang cukup lama, yakni 6 tahun, menyebabkan industri pulp membutuhkan lebih banyak hutan untuk beroperasi. Berdasarkan data dari Departemen Kehutanan pada tahun 1997, total kapasitas produksi industri perkayuan di Indonesia setara dengan 68 juta M3 kayu bulat. Kapasitas tersebut 3 kali lipat lebih besar dibandingkan kemampuan hutan produksi Indonesia untuk menghasilkan kayu secara lestari. Akibatnya, bahan baku industri kertas banyak berasal dari hutan alam, dan diperparah dengan tidak dilakukannya penanaman hutan kembali. Ini menunjukkan kertas erat kaitannya dengan hutan. Bahkan menurut World Wide Fund (WWF), penggunaan 1 rim kertas telah mengorbankan dua meter persegi hutan alam.

Saat ini hutan-hutan di Indonesia mengalami kerusakan yang cukup parah. Jika dahulu Indonesia termasuk dalam 3 negara dengan hutan terluas di dunia, bahkan diyakini 84% daratan Indonesia adalah hutan, maka saat ini Indonesia telah menjadi negara dengan laju perusakan hutan yang cukup tinggi. Menurut data Food and Agriculture Organizations (FAO), setiap harinya hutan di Indonesia berkurang seluas 500 kali luas lapangan sepakbola.

Sejarah deforesasi di Indonesia dimulai pada tahun 1970, dimana pohon ibarat emas coklat yang menawarkan keuntungan dan menggiurkan banyak pihak sehingga akibatnya penebangan hutan untuk tujuan komersial menjadi marak. Industri kertas pun dipandang sebagai upaya untuk mengangkat perekonomian negara. Ini tidak lepas dari tingginya harga pulp di pasaran. Di kawasan Asia, Indonesia bahkan memegang peranan penting dalam memasok kebutuhan pulp dan kertas dunia.

Proses pembuatan kertas yang dilakukan melalui penebangan hutan telah menyebabkan kerusakan lingkungan. Akibatnya, industri kertas telah meluluhlantakkan hutan alam di negeri ini. Tidak hanya itu saja penggunaan kertas yang tinggi juga telah menyebabkan banyaknya sampah kertas. Buruknya dampak pemakaian kertas terhadap lingkungan dan makin banyaknya sampah kertas kemudian memunculkan adanya kertas daur ulang yang dianggap sebagai solusi dari permasalahan tersebut. Pun demikian, di Indonesia harga kertas daur ulang masih lebih mahal dibanding kertas biasa, dan pemerintah memberikan subsidi kepada perusahaan kertas. Ini berbeda dengan di Swiss, dimana harga kertas daur ulang lebih murah daripada harga kertas yang diproduksi dari pohon. Ini menunjukkan tingginya komitmen pemerintah Swiss untuk mengurangi pemakaian kertas dari pohon dan menggalakkan pemakaian kertas daur ulang.

Berangkat dari hal tersebut, sudah seharusnya keprihatinan atas penggunaan kertas dan dampaknya terhadap kelestarian hutan harus menjadi kesadaran yang mengendap di masyarakat sehingga terwujud dalam perilakunya sehari-hari. Ini artinya, kesadaran untuk menghemat kertas dan menggunakan kertas dengan seefektif mungkin harus menjadi semangat pada diri setiap orang. Kampanye akan hal ini pun harus terus menerus dilakukan.


Tips Hemat Kertas
Berkaitan dengan upaya untuk mengurangi penggunaan kertas, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) pada tahun 2007, penggunaan kertas di kantor dapat dikurangi hingga 25%. Artinya, apabila setiap bulan ada pembelian kertas senilai Rp.100.000,00, maka ada penghematan sebesar Rp. 25.000,00 setiap bulannya. Upaya mengurangi kertas dapat dilakukan dengan menggunakan kertas secara bijak dan hal ini dapat dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan pribadi atau di tempat kerja. Misalnya mencetak dokumen berupa memo, draf atau dokumen yang tidak membutuhkan satu sisi kertas dengan mencetak menjadi 2 sisi.
Dalam mencetak dokumen, untuk mengurangi pemakaian kertas dapat dilakukan dengan mengubah margin dokumen yang akan dicetak menjadi lebih kecil serta memperkecil ukuran hurufnya menjadi Arial 8 atau Times New Roman 9 (ukuran huruf ini masih bisa ditolerir oleh mata manusia yang sehat). Dengan menggunakan jenis huruf Arial dan Times New Roman akan lebih sedikit memakan ruang dibandingkan jika menggunakan jenis huruf yang lain.

Menggunakan kertas di kedua sisinya (depan dan belakang). Karenanya, jangan membuang kertas yang tidak terpakai. Sisi kertas yang masih kosong dapat digunakan untuk mencetak dokumen yang masih berupa draf atau memo. Jadi, biasakan untuk menyimpan kertas yang sudah tidak terpakai.
Bila tidak diperlukan untuk mencetak dokumen, dokumen yang akan dikirim dapat dikirim melalui e-mail atau diberikan dalam bentuk CD RW (CD yang dapat diisi kembali), dapat pula meminta penerima untuk mengunduhnya melalui website.
Mencetak dokumen dengan bijak, artinya sebelum mencetak dokumen harus dipastikan tidak ada kesalahan dalam pengetikan. Ini dapat dilakukan dengan selalu menggunakan print preview sebelum mencetak dokumen sehingga kesalahan dalam pencetakan dapat dihindarkan. Untuk mengedit dokumen dapat dilakukan di komputer, setelah dokumen dirasa sudah benar dapat dicetak.

Selalu memeriksa tinta dan mesin fotocopy atau printer sehingga hasil yang diperoleh dipastikan sudah baik. Seringkali karena tinta di mesin fotocopy dan printer kurang baik, hasil yang diperoleh kurang memuaskan sehingga pencetakkan atau penggandaan dilakukan beberapa kali. Ini artinya, akan membutuhkan lebih banyak kertas.

Dalam sebuah pertemuan, pendistribusian bahan materi dapat dilakukan dengan mengirimkannya melalui e-mail atau peserta dapat menduplikasikannya dengan flashdisk. Selain itu juga tidak perlu membagikan notes. Jika peserta memang memerlukan kertas untuk menulis, dapat disediakan kertas HVS 60 gr di sebuah meja dan meminta peserta untuk menggunakannya sesuai dengan kebutuhannya.

Jika selama ini anda terbiasa untuk menuliskan ide atau pemikiran anda di kertas, maka mulailah dengan menuliskan ide anda langsung dengan mengetikkannya di komputer atau laptop. Baru jika anda merasa perlu untuk mencetaknya, dokumen tersebut baru dicetak.

Menggunakan kertas 60 gr atau 70 gr. Umumnya, printer dan mesin fotocopy saat ini bisa bekerja menggunakan kertas yang lebih tepis. Dengan menggunakan kertas yang lebih tipis, akan lebih ramah lingkungan, karena kertas yang lebih tebal, licin, dan putih lebih banyak menggunakan listrik, bahan kimia dan menghasilkan limbah yang lebih banyak pula.
Untuk dokumen yang hanya sekali baca atau memiliki masa berlaku yang singkat dapat didistribusikan melalui e-mail atau CD serta dapat meminta orang yang membutuhkannya untuk mengunduh melalui website.

Biasakan untuk menggunakan kertas sesuai dengan kebutuhan. Kebiasan ini juga harus dikomunikasikan kepada anak-anak dan anggota keluarga yang lain. Sehingga masing-masing orang akan sadar dan memiliki kebiasaan menggunakan kertas dengan bijak. Selain itu juga dengan memilah-milah sampah yang dihasilkan sesuai dengan jenisnya, sehingga akan mempermudah proses pengolahan sampah.

Upaya menggunakan kertas dengan bijak, termasuk juga dengan menggunakan kertas tissue. Selama ini kertas tissue dipandang sebagai hal yang sepele. Akibatnya, pemakaian kertas tissue menjadi sangat konsumtif. Oleh karenanya, biasakan pula untuk menggunakan kertas tissue daur ulang dan menghemat pemakaiannya.


Di tempat kerja, perlu untuk disosialisasikan kebijakan untuk menghemat kertas. Ini artinya perlu dirancang kebijakan atau aturan yang dapat mendukung hal tersebut. Misalnya, untuk memacu karyawan agar menghemat kertas, dapat diberikan penghargaan kepada mereka yang melakukan penghematan kertas atau menggunakan kertas dengan bijak.
Pada level yang lebih tinggi, pemerintah perlu untuk mensosialisasikan untuk menghemat kertas. Misalnya dengan mewajibkan institusi pemerintah dan lembaga pendidikan untuk memakai produk daur ulang, termasuk kertas daur ulang. Menurunkan harga kertas daur ulang sehingga harganya lebih terjangkau dan lebih murah daripada kertas yang berasal dari pohon.

Dengan menghemat kertas berarti menjadi pengguna yang bertanggung jawab, tidak hanya terhadap barang yang dikonsumsi namun juga terhadap kelestarian hutan yang tersisa. Kesadaran tersebut tentunya bukan kesadaran parsial semata, namun menjadi bagian dari perilaku sehari-hari. Sebagaimana pepatah Indian yang disampaikan di muka, apakah kesadaran tersebut harus menunggu hingga hutan telah habis ditebang? Saat pepohonan telah menjadi barang langka?


 http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&dn=20081014000627

Dampak Lingkungan Hidup Perkebunan Sawit

Setidaknya, ada beberap dampak negatif dari perkebunan sawit bagi lingkungan hidup di Indonesia. Dengan luas lahan perkebunan sawit yang sudah mencapai 7,4 juta hektar, dampak negatif perkebunan sawit akan terus meluas seiring bertambahnya areal perkebunan.

Kabut asap merupakan masalah pertama. Saat perkebunan sawit akan dibuka, pembakaran lahan dengan api telah menjadi salah satu metode untuk membersihkan lahan sebelum ditanami sawit. Semakin tinggi tingkat ekspansi lahan, makin tebal kabut yang dihasilkan.

“Riau, Jambi, Sumsel, Kalbar, dan Kalteng merupakan kawasan yang tinggi ekspansinya. Semakin tinggi pembukaan lahan, maka kabut akan semakin tinggi yang salah satu konsekuensinya adalah munculnya penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas),”

(Di provinsi Riau kasus ISPA akibat kabut asap pada Februari 2009 telah menyebabkan 995 orang terinfeksi. Pada Agustus 2009, kurang lebih 1200 orang, terinfeksi di Pontianak.)

Alih fungsi kawasan merupakan faktor terbesar yang menyebabkan rusaknya kemampuan hutan sebagai kawasan penyerap air, penyimpan air, dan mendistribusikannya secara alamiah. Ada hubungan erat antara intensitas banjir yang meningkat dengan meningkatnya luas wilayah perkebunan sawit.

Akibat lain adalah semakin sulitnya akses terhadap air bersih karena perusahaan sawit menguasai lahan tempat sumber air. Selain itu, perusahaan sawit sangat intensif menggunakan bahan kimia untuk mendukung sistem perkebunan intensifikasi.

“Penggunaan pestisida dan herbisida dalam jumlah besar di perkebunan kelapa sawit mengakibatkan kualitas air di sekitar wilayah perkebunan menurun. Tak hanya itu, praktek pembuangan limbah oleh pabrik CPO secara langsung ke sungai di sekitar pabrik masih terus terjadi. Keluhan masyarakat atas akses terhadap air tak pernah ditanggapi secara serius,”

Untuk memelihara perkebunan sawit di Indonesia, diperlukan 2,5 juta ton pupuk dan 1,5 juta liter pestisida secara reguler. “Pemakaian bahan kimia ini menurunkan tingkat kesuburan tanah,”

Pembukaan perkebunan kelapa sawit juga berkontribusi pada pemanasan global dan perubahan iklim. Pembukaan lahan melalui pembakaran lahan dan konversi kawasan hutan dan rawa gambut telah menjadikan Indonesia sebagai negara penyumbang emisi CO2 terbesar ketiga di dunia.

Hingga saat ini, pemerintah masih belum konsisten dalam mengeluarkan kebijakan. Di satu sisi pemerintah mengajukan untuk mendapat kompensasi berupa kredit dari negara maju untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan penghancuran hutan melalui penerapan Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD), tetapi di sisi lain memberikan banyak kawasan yang luas untuk dikonversi.

Dampak terakhir adalah penurunan drastis keanekaragaman hayati. Penurunan ini dikarenakan dikembangkannya model penanaman monukultur dalam skala besar. Jumlah spesies endemik kini semakin menurun, hal ini diperkuat dengan hasil riset terbaru yang menunjukkan tinggal 12 spesies makhluk hidup yang bertahan di sekitar perkebunan sawit.
Mengatasi masalah ini, Salah satu solusi melalui restorasi di kawasan perkebunan. “Ini terkait dengan banyaknya perkebunan sawit yang mengkonversi dan beroperasi di sekitar aliran sungai. Berdasarkan undang-undang lingkungan hidup, aliran sungai harus bersih dari perkebunan dengan jarak 60-100 meter dari tepi sungai. Hal ini belum dilakukan pemerintah dan mutlak dilaksanakan,” 

 http://desasejahtera.org/artikel/25-dampak-lingkungan-hidup-perkebunan-sawit.html
 

Tumpang sari kelapa sawit dengan tanaman pangan (kerjasama dengan masyarakat sekitar)

      Perkebunan kelapa sawit sering diaggap penyebab habisnya lahan untuk pertanian khususnya tanaman pangan. Pangan dalam arti luas mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein lemak dan vitamin serta mineral yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia.
 Sedangkan tanaman kelapa sawit memiliki arti penting bagi pembangunan perkebunan nasional. Selain mampu menciptakan kesempatan kerja yang mengarah pada kesejahteraan masyarakat, juga sebagai sumber perolehan devisa negara. pemanfaatan lahan untuk tanaman kelapa sawit seharusnya juga dapat memberi manfaat bagi warga sekitar dan bermanfaat bagi pihak perusahaan.
Salah satu cara efektifitas lahan untuk bukaan tanaman kelapa sawit adalah dengan bekerjasama dengan maryarakat sekitar. Kerjasama ini terlihat pada sistem pemijaman lahan kepada masyarakat sekitar untuk menanam padi selama satu rotasi. Pertama-tama pihak perusahaan melakukan  pembukaan lahan hanya menggunakan exsavator untuk menumbang kayu besar dan membuat parit, kemudian areal dipancang seluas 0,25 ha untuk tiap-tiap kepala keluarga. warga maryarakat disekitar kebun dibagi lahan bukaan baru (ex hutan) dengan kesepakatan lahan akan ditanami kelapa sawit setelah satu rotasi tanam hingga panen padi. Tiap-tiap penerima lahan mengolah lahan gratisan ini dengan baik agar hasil yang didapat juga maksimal, kayu ex hutan serta tunggul-tunggul dan gulma dibersihkan penerima lahan ini, tanah juga diolah dengan baik agar dapat ditanami padi ladang (padi gogo).
kegiatan tanam padi oleh masyarakat terhenti sementara saat proses penanaman kelapa sawit, setelah kegiatan penanaman kelapa sawit lahan milik perusahaan boleh ditanami tanaman hortikultura serta tanaman yang mempunyai nilai ekonomis lainnya (mentimun batu, semangka, cabai dll). Tanaman milik warga masyarakat ini ditanam di sepanjang jalur gawangan mati tanaman kelapa sawit agar tidak mengganggu perawatan tanaman kelapa sawit. perusahaan juga melarang para petani untuk tidak menanam ubi kayu dan pisang karena susah untuk dibersihkan suatu saat. sistem tumpang sari ini hanya berjalan sekitar 16 bulan karena buah kelapa sawit akan dipanen (menghindari pencuruan buah). 
Cara ini cukup efektif untuk menekan terjadinya koflik dengan masyarkat sekitar karena warga maryarkat diberdayakan untuk bertani untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Ini juga salah satu cara sosialisasi dengan masyarakat (memberi kesan baik), perusahaan juga dapat menekan biaya penggunaan alat berat untuk merapikan lahan karena lahan garapan petani ini sudah cukup bersih, selama 16 bulan setelah tanam perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya untuk perwatan.

Studi kasus PT. S3 Desa Sei Rangit Jaya SP 4 dan SP 6
Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalteng