Tuesday, May 21, 2013

Taksasi Produksi



Taksasi panen merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memperkirakan produksi kelapa sawit selama 6 bulan berikutnya setelah penyerbukan terjadi. Menurut Sastrosayono (2003), hasil produksi kelapa sawit untuk enam bulan ke depan bisa ditaksir dengan rumus sebagai berikut :
Y   =   a × b × c
Keterangan :
a : Jumlah seluruh tandan yang akan dipanen selama enam bulan.
b : Berat tandan rata-rata
c : Persentase minyak terhadap berat tandan
         Dalam melakukan taksasi produksi terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, yang meliputi kriteria tanaman menghasilkan dan derajat kematangan buah. Menurut Tim Bina Karya Tani (2009), beberapa hal yang harus diperhatikan agar tanaman belum menghasilkan (TBM) dapat digolongkan menjadi tanaman menghasilkan  (TM) maka perlu diperhatikan beberapa kriteria, yaitu kerapatan panen telah mencapai 60 % atau lebih, bobot tandan rata-rata lebih berat dari 3 kg, dan angka sebaran panen lebih banyak dari 5. Selain itu derajat kematangan buah juga harus diperhatikan, agar randemen minyak yang diperoleh tinggi.

kastrasi


Menurut Setyamidjaja (2006), kastrasi adalah pemotongan atau pembuangan (pengebirian) bunga jantan dan bunga betina yang masih muda yang telah tumbuh pada tanaman yang berumur 12 – 20 bulan. Kastrasi berlangsung hingga 6 bulan sebelum panen yang pertama dimulai. Rotasi pelaksanaan kastrasi adalah sebulan sekali, dengan menggunakan dodos. Tujuan dari kastrasi bunga adalah :
1.  Merangsang pertumbuhan vegetatif dan menghemat penggunaan unsur hara dan air.
2.  Menciptakan keadaan tanaman yang bersih.
3. Memudahkan pelaksanaan penyerbukan.

Indonesia merupakan negara dengan luas kebun sawit terbesar di dunia. Pada tahun 2010, luas kebun kelapa sawit di Indonesia mencapai 7 824 623 ha. Dari total luasan tersebut, 3 893 385 ha dimiliki oleh perusahaan swasta,  616 575 ha dimiliki oleh perusahaan negara, dan 3 314 663 ha dimiliki oleh rakyat. Sebagai negara dengan luas kebun sawit terbesar di dunia, Indonesia berpotensi untuk menjadi negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia. Produksi kelapa sawit Indonesia pun terus meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan minyak sawit dunia. Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan (2009), produksi kelapa sawit Indonesia mencapai 17 539 788 ton. Oleh karena itu, untuk terus meningkatkan produksi minyak kelapa sawit, harus ada kegiatan budidaya yang ditingkatkan, salah satu kegiatannya adalah pemanenan.
Panen adalah pemotongan tandan dari pohon hingga pengangkutan ke pabrik. Buah yang sudah dipanen biasa disebut tandan buah segar (TBS). Urutan kegiatan panen adalah pemotongan tandan buah yang sudah matang, pengutipan brondolan, pemotongan pelepah, pengangkutan hasil ke Tempat Pengumpulan Hasil (TPH) , dan pengangkutan TBS dari TPH ke pabrik. Tanaman kelapa sawit secara umum sudah mulai dialihkan dari Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) menjadi Tanaman Menghasilkan (TM) setelah berumur 30 bulan.  Panen dan transportasi panen merupakan kegiatan yang sangat penting pada pengelolaan tanaman kelapa sawit menghasilkan.
Keberhasilan panen dan transportasi panen akan menunjang pencapaian produktivitas tanaman. Pemanenan merupakan rangkaian kegiatan yang perlu diperhatikan secara seksama. Pengetahuan akan faktor-faktor terkait kemampuan teknis dan menejerial adalah modal pokok agar kegiatan pemanenan mencapai target yang ditentukan. Keberhasilan panen ditentukan oleh pengetahuan pemanen tentang persiapan panen, kriteria matang panen, rotasi panen, sistem panen, dan alat panen.  Keseluruhan faktor ini merupakan kombinasi yang tak terpisahkan satu sama lain. Untuk meningkatkan keterampilan tentang keberhasilan panen, perlu dilakukan pelatihan bagi pelaku pemanen pemula.
Kegiatan transportasi juga merupakan aspek yang harus benar-benar diperhatikan. Kegiatan ini merupakan kegiatan paling akhir dari semua rangkaian kegiatan yang ada di perkebunan kelapa sawit. Apabila kegiatan transportasi ini lancar, dengan kata lain semua tandan yang telah dipanen dapat diangkut ke pabrik untuk diolah menjadi CPO yang berkualitas, maka kegiatan sebelumnya mulai dari perawatan tanaman hingga pemanenan tidak sia-sia. Namun, apabila transportasi panen ini bermasalah dimana buah yang telah dipanen tidak dapat dinagkut ke pabrik untuk diolah manjadi CPO, maka kegiatan-kegiatan budidaya sebelumnya akan sia-sia

Kandungan Unsur Hara pada Limbah Cair PKS



Karakteristik
Unit
kisaran
Rerata
pH
BOD
COD
O/G
TA
VFA
TS
N
P
K
Mg
Ca
Derajat keasaman
Biologycal Oxygen Demand
Chemical Oxygen Demand
Oil Aand Grease
Total Alkalinity
Volatile Fatty Acid
Total Solid
Nitrogen
Rhosphorus
Potassium
Magnesium
Calsium
-
ppm
ppm
%
ppm
ppm
ppm
ppm
ppm
ppm
ppm
ppm
3.83 – 7.25
170 – 23 574
2 213 – 107 492

704 – 3 21
49 – 5 452
0.52 – 7.12
120 – 996
69 – 590
965 – 2 500
195 – 530
100 – 575
6.55
2 559
14 345
0.11
2 763
579
1.64
454
170
1 641
334
249
Sumber : MCAR Sinar Mas

Kandungan Hara pada Tandan Kosong Kelapa Sawit


Hara
Satuan
Kisaran
Rata-rata
N
Nitrogen
%
0.64-0.93
0.9
P
Phosphorus
%
0.16-0.318
0.11
K2O
Kalium, Potassium
%
1.93-4.03
2.40
MgO
Magnesium
%
0.17-0.28
0.17
CaO
Calcium
%
0.23-0.41
0.27
Cl
Khlor
%

0.44
Mn
Mangan
ppm
9-34
24.75
B
Boron
ppm
10-16
12.94
Zn
Seng, Zing
ppm
22-50
37.72
Cu
Copper
ppm
43-83
53.14
Fe
Besi, Ferrum
ppm
158-1.128
275.36
Sumber : MCAR Sinar Mas

Pengaplikasian limbah cair


Berbagai metode aplikasi limbah cair yang digunakan antara lain sistem sprinkle, flat bed, long bed, dan traktor tanki.  Teknik aplikasi limbah secara flat bed umum digunakan yaitu dengan mengalirkan limbah tersebut dari kolam limbah  melalui pipa ke bak-bak distribusi dan selanjutnya ke parit primer dan parit sekunder (Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2003).
Pada sistem sprinkle limbah cair dialirkan melalui saringan menuju parit yang telah disediakan. Sistem ini dipakai untuk lahan datar atau sedikit bergelombang untuk mengurangi aliran permukaan dari limbah cair yang digunakan.  Pada sistem flat bed  dibuat suatu konstruksi di antara baris pohon yang dihubungkan dengan saluran parit yang dapat mengalirkan limbah dari atas ke bawah dengan kemiringan tertentu.  Sistem ini dibangun mengikuti kemiringan tanah.  Pada sistem long bed dibuat dua buah parit yaitu parit yang lurus dan berliku-liku untuk distribusi limbah.  Parit berliku-liku digunakan untuk lahan yang curam atau berbukit.  Limbah sepanjang parit dialirkan perlahan-lahan untuk mengurangi erosi dan banjir.  Parit yang lurus memanjang dapat dibangun pada lahan yang sedikit miring, dan limbah dialirkan hingga ujung parit. 

pemanfaatan limbah kelapa sawit


Tandan kosong sawit dapat dimanfaatkan sebagai sumber pupuk organik yang memiliki kandungan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanah dan tanaman. Tandan kosong kelapa sawit mencapai 21 % dari jumlah pemanfaatan limbah kelapa sawit tersebut.  Sebagai pupuk organik alternatif, TKS memberikan manfaat lain dari segi ekonomi.  Bagi perkebunan kelapa sawit, TKS dapat menghemat penggunaan pupuk sintesis sampai dengan 50 %.
Tempurung kelapa sawit merupakan salah satu limbah pengolahan kelapa sawit yang cukup besar, yaitu mencapai 60 % dari produksi minyak.  Tempurung kelapa sawit dapat digunakan sebagai arang aktif.  Arang aktif dimanfaatkan oleh berbagai industri, antara lain industri minyak, karet, gula dan farmasi.  Selama ini tempurung kelapa sawit digunakan hanya  sebagai bahan bakar pembangkit tenaga
uap dan pengeras jalan.

Limbah Pabrik Kelapa Sawit (PKS)


Limbah kelapa sawit adalah sisa hasil tanaman kelapa sawit yang tidak termasuk dalam produk utama atau merupakan hasil ikutan dari pengolahan kelapa sawit. Berdasarkan tempat pembentukan limbah kelapa sawit dapat digolongkan menjadi dua jenis yaitu limbah perkebunan kelapa sawit dan limbah industri kelapa sawit.  
Limbah perkebunan kelapa sawit adalah limbah yang dihasilkan dari sisa tanaman yang tertinggal  pada  saat pembukaan areal perkebunan, peremajaan dan panen kelapa sawit.  Jenis limbah ini antara lain kayu, pelepah dan gulma.  Dalam setahun setiap satu hektar perkebunan kelapa sawit menghasilkan limbah pelepah daun sebanyak 10.4 ton bobot kering.
Limbah industri kelapa sawit adalah limbah yang dihasilkan pada saat proses pengolahan kelapa sawit.  Limbah jenis ini digolongkan dalam tiga jenis yaitu limbah padat, limbah cair, dan limbah gas.
a.         Limbah padat: Salah satu jenis limbah padat industri kelapa sawit adalah tandan kosong sawit (TKS). Tempurung kelapa sawit termasuk juga limbah padat hasil pengolahan kelapa sawit.  Limbah padat mempunyai ciri khas pada komposisinya.  Komponen terbesar dari limbah padat tersebut adalah selulosa, disamping komponen lain meskipun lebih kecil seperti abu, hemiselulosa, dan lignin.
b.        Limbah cair: Dihasilkan pada proses pengolahan kelapa sawit. Limbah ini berasal dari kondensat, stasiun klarifikasi, dan dari hidrosilikon.  Tingginya kadar tersebut menimbulkan beban pencemaran yang besar, karenanya diperlukan degradasi bahan organik yang lebih besar pula.  Lumpur disebut juga lumpur primer yang berasal dari proses klarifikasi dan merupakan salah satu limbah cair yang dihasilkan dalam proses pengolahan kelapa sawit dan lumpur yang telah mengalami proses sedimentasi disebut lumpur  sekunder.
c.         Limbah gas: Selain limbah padat dan cair dari industri kelapa sawit, pengolahan kelapa sawit juga menghasilkan limbah bahan gas.  Limbah bahan gas ini antara  lain gas  cerobong dan  uap air  buangan  pabrik  kelapa  sawit.
Tandan kosong sawit yang dihasilkan antara 22 - 23 % dari jumlah TBS yang diolah.  Limbah padat TKS biasanya dibakar dan abunya yang mengandung kalium cukup tinggi dapat dipakai sebagai sumber kalium. Pembakaran TKS tersebut mulai ditinggalkan untuk mengurangi dampak polusi udara akibat asap hasil pembakaran.  Disamping itu, penggunaan abu TKS sebagai pupuk di pembibitan kelapa sawit diketahui belum memberikan hasil yang memuaskan (Darmosarkoro dan Rahutomo, 2000).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan produksi TBS yang diperoleh dari aplikasi TKS sebagai mulsa pada beberapa jenis tanah berkisar antara 10 - 34 %.  Secara ekonomis, aplikasi TKS sebagai mulsa di perkebunan kelapa sawit memberikan tambahan pendapatan sekitar 34 % dibandingkan dengan pemupukan biasa.  Salah satu kendala aplikasi TKS secara langsung adalah biaya trasportasi per unit hara yang cukup tinggi (Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2003).

Perkembangan areal perkebunan kelapa sawit yang diikuti dengan pembangunan pabrik yang cukup pesat, akan mempengaruhi lingkungan sekitar.  Pengendalian limbah pabrik kelapa sawit harus dilakukan dengan baik dan sesuai aturan.  Pengendalian limbah pabrik dapat dilakukan dengan cara pemanfaatan, pengurangan volume limbah, dan pengawasan mutu limbah.  Pembangunan instalasi pengendalian limbah dilakukan bersamaan dengan pembangunan pabrik minyak sawit dengan sistem yang didasarkan pada kapasitas dan kualitas limbah yang diinginkan.  
Pengusahaan perkebunan kelapa sawit yang semakin pesat dan terus bertambahnya areal perkebunan akan menghasilkan limbah kelapa sawit yang sangat banyak.  Limbah kelapa sawit tersebut meliputi limbah padat dan limbah cair. Sangat diperlukan pengelolaan khusus pada limbah kelapa sawit agar berguna bagi kegiatan perkebunan.  Jika tidak dilakukan, maka limbah pabrik akan mencemari lingkungan dan mengakibatkan kerusakan ekosistem.

Produksi minyak kelapa sawit di dalam negeri diserap oleh industri pangan, terutama industri minyak goreng dan industri nonpangan seperti industri kosmetik dan farmasi.  Semakin bertambahnya jumlah penduduk dunia mengakibatkan semakin banyaknya permintaan akan kebutuhan minyak goreng.  Oleh karena itu, komoditas kelapa sawit merupakan komoditas yang sangat menjanjikan.  Pada masa depan, minyak sawit tidak hanya mampu menghasilkan berbagai industri hilir melainkan menjadi substitusi bahan bakar yang saat ini sebagian besar dipenuhi dengan minyak bumi.  Apalagi dengan ketersediaan minyak bumi yang terbatas (Tim Bina Karya Tani, 2009).

PERAN KOPERASI DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN DAERAH (Sebuah Solusi Terhadap Penanganan Dan Pemberdayaan Tanah Ulayat Di Sumbar)


I. PENDAHULUAN
  
1.1. Latar Belakang 
Menjawab Undang undang No.22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah 
maka untuk propinsi Sumatera Barat  diimplementasikan dalam komitmen 
bersama kembali ke nagari yang ditandai dengan ditetapkannya Perda No.9/2000 
oleh DPRD Propinsi Sumatera Barat, menandai berbunyinya kemballi gong tanda 
kemauan dan consensus bersama untuk mewujudkan kembali kejayaan masa lalu 
dengan nostalgia indah selama sistem pemerintahan nagari dengan kesatuan 
masyarakat secara sosiologis dan ekonomis dalam suatu masyarakat nagari. 
Masyarakat nagari sebagai masyarakat hukum adat, tanah mempunyai kedudukan 
yang sangat penting, karena tanah merupakan satu-satunya kekayaan yang tetap 
dan sebagai pengikat hukum, antara manusia dan tanah mempunyai hubungan 
yang sangat erat sehingga menimbulkan hak bgi masyarakat hukum adat untuk 
menguasai, memanfaatkan dan menikmati hasil hasil tumbuh tumbuhan yang 
hidup diatasnya. Tanah merupakan kekayaan yang selalu dipertahankan karena 
menyangkut kewibaan dan menentukan tinggi rendahnya kedudukan suau kaum. 
Dalam kenyataannya tanah juga akan menjadi sumber konflik dalam suatu 
masyarakat, dalam konteks Sumatera Barat (Minangkabau) tanah ulayat selalu 
menjadi salah satu sumber konflik yang tak henti-hentinya. Hal ini dipacu oleh 
perbenturan pengaturan tanah ulayat menurut adat Minangkabau dengan Hak 
Menguasai Negara (HMN) yang diatur dalam pasal 2 Undang-undang Pokok 
Agraria (UU No.5/1996). Dalam versi adat Minangkabau Penguasa Adat 
(Penghulu Suku/Kaum) memiliki kewenangan atas anggota kaum/sukunya untuk 
mengatur pengelolaan tanah ulayat. Sementara versi HMN tanah ulayat adalah 
tanah negara dimana pemerintahan selaku penyelenggara negara mempunyai 
kewenangan tertinggi dalam peruntukan , pengaturan dan pemberian hak atas 
tanah. Dua pemahaman inilah nampaknya menjadi pemicu terjadinya konflik 
tanah pada sebagian besar daerah minangkabau (Suara Rakyat;February 2001). 
Secara empiris dilapangan pengelolaan tanah dalam bentuk perkebunan 
kebanyakan dilakukan dengan sistem PIR (Perkebunan Inti Rakyat). Dari hasil 
penelitian /investigasi yang dilakukan oleh WALHI(Wahana Lingkungan Hidup) 
dalam Jurnal SIMPUL No.21 tahun 1999 ditemukan bahwa PIR-BUN 
menimbulkan beberapa masalah ditengah masyarakat yakni : terjadinya perubahan 
penguasaan tanah dari tanah ulayat (adat) ke pemilikan HGU (Hak Guna Usaha) 
yang dimiliki oleh perusahaan (PTP), kesenjangan ekonomi karena petani plasma 
dipaksakan untuk menghasilkan satu produk dan resiko atas usaha yang diterima 
petani plasma lebih besar.degradasi mutu lingkungan dan pelanggaran HAM 
untuk menentukan jenis komoditi pertanian dan penentuan harga sepihak oleh 
perusahaan sebagai penampung produk. 
Dengan Pola PIR-BUN untuk Sumatera Barat, pengalihan kepemilikan 
tanah ulayat ini merupakan faktor yang sangat kuat menjadi sumber konflik. 
ditambah lagi terabaikannya masyarakat lokal dimana kenggotaan kebun plasma 
itu identik dengan warga transmigrasi dari luar daerah. Maka dengan otonomi 
dimana masyarakat diberikan peran aktif dan partisifasi untuk merencanakan, 
menaganalisa, menentukan dan melakukan pembangunan didaerah/nagari. Maka 
koperasi sebagai salah satu kelembagaan ekonomi yang memiliki prinsip 
kepemilikan secara bersama, keadilan dan kekeluargaan cocok dijadikan sebagai 
solusi alternatif untuk pemecahan masalah didalam pengelolaan tanah ulayat, 
dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat dengan berbagai macam 
usaha dan bisnis yang akan dilakukan. Namun pertanyaannya dari pengalaman 
masa lalu, kemauan dari semua pihak tentu menjadi sebuah persoalan yang 
penting (urgen) untuk dibicarakan dan menelaah peran apa dan bagaimana 
koperasi bisa berperan di nagari. Inilah yang menjadi pembahasan dalam tulisan 
ini. Dan dengan kembalinya kepemerintahan Nagari di Sumatera Barat, 
menimbulkan suatu peluang dan tantangan untuk memfungsikan koperasi sebagai 
wadah ekonomi masyarakat nagari, khususnya dalam mengelola tanah ulayat 
sebagai hak dan milik masyarakat nagari. Sehingga yang diuntungkan dari usaha 
tersebut adalah masyarakat nagari dan masyarakat secara umum. 

1.2. Ruang Lingkup Masalah 
     Untuk melakukan pengkajian yang lebih mendalam pada permasalahan 
yang akan dibahas maka penulis membatasi ruang lingkup pada : 
1. Bagaimana peran koperasi dalam pengelolaan tanah ulayat nagari sehingga 
pendapatan masyarakat bisa ditingkatkan. 
2. Bagaimana SHU koperasi bisa diarahkan dalam peningkatan pembangunan 
daerah.    

1.3. Defini - definisi 
1. Tanah Ulayat 
Tanah Ulayat adalah Bidang tanah yang diatasnya terdapat hak Ulayat dari 
suatu masyarakat hukum adat (Pasal 1 angka 2 PMNK / Ka. BPN No. 5 th 1999). 
Dari hasil penelitian partisipatif yang dilakukan oleh LBH padang dalam edisi 
terbaru terdapat tiga prinsip tanah ulayat yakni  : 
(1.) Ulayat kaum pada umumnya sudah terbagi kepada masing-masing keluarga 
(paruik) yang ada pada suatu kaum itu sebagai ganggambauntuk. 
(2.) Ulayat suku yaitu seluruh ulayat kaum dalam suku yang bersangkutan pada 
suatu nagari. 
(3.) Ulayat Nagari, bila mengacu pada teori pembentukan nagari yang berasal dari 
taratak, taratak menjadi dusun, lalu menjadi kampung dan selanjutnya 
penggabungan kampung menjadi nagari. Maka sebenarnya tidak ada tanah 
ulayat nagari secara  terpisah, karena setiap jengkal tanah dalam nagari sudah 
milik suku / kaum. Walaupun pada beberapa nagari ada ulayat nagari atas 
pemberian dari suku atau kaum dalam bentuk batang air, lurah terjal yang 
tidak bisa dikelola oleh suku / kaum. 
2.  Penghulu adalah pimpinan suku dalam suatu kaum di Nagari. 
3.  Pucuk adat adalah : Kepala penghulu dalam suatu kelembagaan adat nagari. 
4.  Nagari adalah Suatu Wilayah teroterial yang merupakan suatu ketentuan 
masyarakat adat yang otonomi. 
5.  Suku merupakan suatu pengelompokan keluarga (keturunan) berdasarkan garis 
keturunan Ibu seperti suku pilang, Melayu, Jambak, Caniago, Koto, Bodi, 
Tanjung, Mandailing, Potopang, Mais, Guci dan lain-lain. 
6. Kaum adalah bagian dari suku yang dikelompokan berdasarkan saudara 
perempuan (keturunan ibu/nenek perempuan/paruik). 
7.  Matrilineal adalah garis keturunan orang seorang atau badan hukum. 
8. Koperasi dengan melaksanakan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi, 
sekaligus sebagai ekonomi rakyat yang berdasarkan ata azas kekeluargaan 
(UU Koperasi No. 25/1992 Bab 1 Pasal 1 ayat 1). 
9. Manajemen adalah serangkaian kegiatan/tindakan atau proses untuk mencapai 
tujuan yang telah ditetapkan malalui kerjasama dengan orang lain (Mustafa 
Kamal 1987).  

1.4 Tujuan Penulis      
Adapun tujuan dari penulis adalah untuk menjelaskan dan menganalisis 
peran koperasi dalam peningkatan pendapatan anggota dan kontribusinya terhadap 
pembangunan daerah dalam otonomi daerah.  

1.5 Manfaat Penulis 
Penulisan ini dimaksudkan untuk mengkaji secara teoritis dan empiris 
tentang peranan koperasi dalam pengelolaan potensi sumber daya alam nagari 
dalam masa otonomi daerah, sehingga dengan informasi yang diperoleh dan 
disajikan akan memberikan suatu masukan pemikiran dan solusi alternatif dalam 
pengelolaan tanah ulayat yang sering menjadi problrm ditingkat masyarakat, 
antara masyarakat dengan Negara, dan ini juga akan bermanfaat untuk para aktifis 
koperasi, pemerintah dan masyarakat Indonesia pada umumnya serta masyarakat 
Minangkabau pada khususnya dalam menghadapi otonomi daerah.         

II. METODE PENULISAN  
Penulisan makalah ini merupakan kajian yang bersifat empiris dan kajian 
kepustakaan yang bersumber dari buku-buku, jurnal-jurnal koperasi dan media 
massa sebagai leteratur dalam bidang koperasi dan sosial ekonomi masyarakat 
Sumatera Barat. Disamping itu tulisan ini juga ada kaitannya dengan hasil 
penelitian lapangan (Observasi) dalam Inventarisasi kekayaan Nagari Sumatera 
Barat sejak bulan Juni hingga Desember 2000.  

III. PEMBAHASAN  

3.1.  Nagari Dalam Perspektif Sosial dan Ekonomi 
Nagari di Sumatera Barat adalah kesatuan sosial utama yang dominan 
yang menjadi ciri khas masyarakat Minangkabau adalah dengan System 
kekeluargaan matrialineal, nagari merupakan kesatuan masyarakat otonomi. Ini 
merupakan republik mini dengan teritorial yang jelas bagi anggota - anggotanya, 
mempunyai pemerintahan sendiri dan mempunyai adat sendiri yang mengatur tata 
kehidupan masyarakat yang lebih demokratis dari pada kerajaan. 
Berbicara tentang nagari, persepsi kita jangan sama dengan lembaga adat 
lain yang feodal dan otoriter. Dimasyarakat Minangkabau nagari merupakan suatu 
sistem yang memiliki nilai-nilai demokratis, katakanlah filsafah " Bulek Aia dek 
pembuluh bulek kato dek mufakat " (Bulat air karena pembuluh dan bulat kata 
karena musyawarah dan mufakat). Demikian juga atau dalam pembagian kerja  
(Job Description), telah ada falsafahnya, dimana seluruh manusioa berguna dan 
bisa bekerja sesuai dengan keahliannya "Urang Lumpuah penghuni rumah, urang 
pakakpembunyia badia, urang buto paambui lasuang" (Orang lumpuh penghuni 
rumah, orang tuli pembunyi bedil dan orang buta penghembus lesung). Pola 
kepemimpinan nagari juga menggunakan pola dengan "Rapek Penghulu" (Rapat 
Penghulu), Kerapatan Adat Nagari dilakukan untuk menentukan kebijakan dan 
aturan yang akan diberlakukan di masyarakat nagari (Chatra : 1999 : 17). 
Dalam teritorial nagari bisa dikenal dengan hutan tinggi dan hutan rendah. 
Hutan tinggi adalah wilayah nagari yang terdiri dari hutan rimba yang belum 
dibuka, termasuk rawa-rawa dan paya-paya. Sedangkan hutan rendah adalah 
sawah, ladang, kebun dan tanah perumahan serta pekarangan dan semua tanah 
yang telah diolah oleh keluarga atau pribadi dan  semuanya ini dimiliki secara 
komunal (Manan : 1995 :240). 
Dalam persoalan investasi, tanah ulayat inilah yang selalu menjadi 
persoalan di Sumatera Barat. Sering kali persoalan-persoalan ini menjadi sumber 
konflik sebagai mana yang terjadi di kecamatan Kinali, kecamatan Pasaman dan 
kecamatan Sungai Beremas di kabupaten Pasaman Propinsi Sumatera Barat. Pada 
tahun 1990an di PAsaman dilakukan invstasi besar-besaran dalam perkebunan 
kelapa sawit dengan sistem plasma, kira-kira sebanyak 10% dari perkebunan 
seluruhnya. Dari hail investigasi dan observasi, penulis dibeberapa nagari di 
Sumatera Barat, khususnya di kabupaten Pasaman persoalan ini muncul karena 
beberapa faktor diantaranya adalah : 
1.  Dalam pengukuran lahan yang akan diolah oleh pengusaha perkebuna melalui 
pola PIR-BUN (Perkebunan Inti Rakyat) tidak melibatkan seluruh komponen 
masyarakat, yakni seluruh penghulu-penghulu nagari dan cerdik pandai, alim 
ulama yang merupakan kepemimpinan kolektif nagari, sehingga dalam 
pengukuran adakalanya dimasukan lahan pertanian yang sudah diolah oleh 
penduduk dan terjadinya  praktek-praktek sehat dalam proses administrasi 
penyelesaian tanah ulayat nagari umpamanya penyogokan terhadap datuk 
(penghulu) tertentu. 
2.  Pihak perusahaan pengelola proyek PIR-BUN tidak memberikan konpensasi 
dalam bentuk kebun atau pendapatan lain untuk masyarakat nagari yang 
dijanjikan sebelum proyek perkebunan dilakukan. 
3. Tanah sewa (ERPAH 24) Penjajahan Belanda yang disewa kepada Ninik 
Mamak (Penghulu/ Datuak) nagari sebelum merdeka, kemudian setelah 
merdeka tanah tersebut diambil oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai 
tanah Negara. Namun dipihak nagari , tanah ini adalah milik ulayat nagari, 
seperti yang ada di nagari talu dan sundatar di kabupaten Pasaman.   
Ketiga persoalan ini sering menjadi sumber konflik yang terjadi di tengah 
masyarakat dan antara masyarakat dengan negara, maka untuk memecahkan 
persoalan ini sering kali dilakukan dengan menggunakan pendekatan hukum 
positif. Namun justru dalam pemecahan ini timbul konflik dimana masyarakat 
selalu dirugikan, karena memang  masyarakat minang tidak terbiasa dengan jalur 
administrasi dalam bentuk surat (dokumen tertulis), tetapi melalui pola hukum 
yang berlaku secara oral (mulut kemulut) dengan cerita dari perspektif asal usul. 
Pembuktian secara hukum positif ini menjadi sebuah kelemahan karena tidak ada 
hitam diatas putih sebagai penguat. Untuk itu muncul alternatif solusi  dengan 
pendekatan cultura, yakni disesuaikan dengan adat istiadat masyarakat setempat, 
dimana kepemilikan tanah ulayat ini dimiliki secara bersama oleh masyarakat 
nagari baik ditingkat nagari, suku dan paruik (Induk/Ibu/Keluarga). 
Dalam pemberdayaan dan pengoptimalan tanah ulayat dalam bentuk lahan 
kosong, rimba, dan rawa-rawa ini perlu modal dan investasi yang cukup besar. 
Persoalannya adalah masyarakat tidak memiliki modal untuk mengolah lahan 
tersebut, maka terpaksa dilakukan investasi oleh pihak lain (Investor Luar) untuk 
masa yang akan datang dan prinsip dengan mekanisme kerja yang ada di koperasi, 
peran koperasi sangat penting dalam pemberdayaan dan pengolahan tanah ulayat 
di Sumatera Barat. 
Koperasi sebagai sebuah kelembagaan ekonomi pada dasarnya adalah 
badan usaha yang dimiliki secara bersama oleh anggota. kekuasaan di koperasi 
bukan ditentukan oleh jumlah modalnya dikoperasi tetapi satu orang satu suara 
dengan prinsip "One Man One Vote" dalam pengambilan keputusan koperasi 
bertujuan sepenuhnya untuk kesejahteraan anggota maka disini kecocokan 
koperasi sebagai kelembagaan ekonomi modern dengan kelembagaan dan prinsip-
prinsip cultural nagari di Minangkabau, persoalannya kemudian adalah bagaimana 
koperasi bisa melakukan dan mengambil peran itu secara baik dan terarah serta 
tetap mengedepankan penghargaan terhadap kelembagaan yang ada dinagari dan 
pengakuan secara bersama atas kepemilikan dan pengelolaan koperasi. Maka 
dalam pengelolaan koperasi haruslah dilakukan secara partisipatif dari masyarakat 
yang dimiliki oleh berbagai suku dan kaum di nagari.   

3.2. Strategi Koperasi Dalam Pengelolaan Tanah Ulayat 
Pada penjelasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa tanah yang ada dalam 
batas nagari adalah milik masyarakat bagari yang terdiri dari tanah hutan tingi dan 
hutan rendah, dalam pendekatan kependudukan hutan tinggi ini digunakan untuk 
tanah cadangan yang digunakan untuk menampung pertumbuhan pendududk. 
Sedangkan hutan rendah digunakan untuk penanaman tumbuhan muda, tua, 
perumahan dan pekarangan rumah, jalan, tempat ibadah dan lain-lain dan kadang-
kadang ini disebut dengan tanah ulayat kaum. (Manan : 1995 : 34). 
Tanah ulayat dalam bentuk ulayat tinggi ini adalah tanah rimba yang 
belum pernah diolah masih dalam bentuk hutan belantara, danau, batang air, dan 
perbukitan. Dalam kondisi sekarang inilah yang menjadi objek pengerukan oleh 
Investor local dan investor luar untukHPH, Perkebunan, Perumahan untuk 
developer (Pengembang) dan tambak-tambak ikan. Sedangkan tanah ulayat 
rendah ini dimanfaatkan untuk pertanian muda seperti sawah dan ladang 
perumahan dan pekarangan rumah dalam bentuk kolam ikan. 
Kalau kita lihat tanah ulayat tinggi sebagai kepemilikan bersama 
masyarakat nagari di Sumatera Barat masih tergolong besar jumlahnya termasuk  
Tanah ulayat yang belum dikelola dengan baik seperti dalam bentuk tanah 
kosong, lahan kritis yang paling banyak salah satu contoh lahan kosong terdapat 
di kecamatan mapattungul kabupaten Pasaman hingga hari ini mencapai lebih 
kurang 300.000 Ha dimana daerah ini merupakan perbukitan-perbukitan yang 
masih rimba murni dan bekas ladang berpindah-pindah penduduk setempat.yang 
ditumbuhi padang ilalang dan rumput-rumputan yang tidak produktif. Maka 
koperasi sebagai badan usaha bisnis dapat melakukan aktifitas dalam bentuk 
pemanfaatan Tanah ulayat  dengan berbagai jenis usaha seperti perkebunan, 
pertanian, peternakan, industri dan agro wisata seperti yang dibuat dikota batu 
malang dalam bentuk perkebunan jeruk, manggis, salak dan lian-lain. 
Koperasi yang sudah ada sekarang perlu melakukan reformasi dalam hal 
kelembagaan, pengelolaan usaha, kepengurusan dan organisasi, KUD yang selama 
ini ada didesa yang merupakan bagian dari nagari perlu melakukan kajian-kajian 
sesuai dengan kondisi nagari yang ada, seharusnya memang koperasi yang ada 
sekarang melakukan perbaikan organisasi dengan cara melakukan musyawarah 
secara bersama dengan di masyarakat nagari untuk mengkonversi KUD menjadi 
Koperasi nagari yang  dimiliki secara bersama (komunal) oleh masyarakat nagari 
sehingga potensi dalam bentuk  Tanah ulayat bisa dikelola secara optimal oleh 
masyarakat nagari secara bersama tanpa menimbulkan konflik antar masyarakat. 
dimana koperasi dalam hal modal dan kelembagaan diakui sangat diharapkan. 
Kemudian persoalan-persoalan yang muncul terutama berkaitan dengan 
komunikasi dan pemahaman yang berbeda terhadap pola yang dilakukan, namun 
solusinya perlu kearifan dan konsistensi pengurus yang ada sekarang untuk 
memberikan pemahaman dan kesadaran kepada masyarakat dan anggotanya. 
Penulis berkeyakinan bahwa sesungguhnya dengan nilai-nilai idiologis 
dan prinsip-prinsip koperasi yang ada, tidak akan mengalami hambatan untuk 
mengsosialisasikan koperai sebagai badan usaha kepada masyarakat nagari, 
namun tantangannya bagaimana pengurus bisa mengkomunikasikan ini secara 
baik dengan masyarakat. 
Untuk koperasi yang kan didirikan, maka ini akan lebih menarik karena 
timbul partisipasi dan dinamika masyarakat untuk berkembang secara mandiri 
untuk mengolah kapital natural yang sudah ada untuk dikembangkan secara 
optimal secara bersama. 
Setelah proses pengakuan (legitimasi) oleh masyarakat nagari terhadap 
koperasi telah berjalan dengan baik, maka proses selanjutnya adalah bagaimana 
mengkombinasikan faktor-faktor produksi yang menjadi potensi ekonomi nagari 
bisa dikelola dengan baik. Potensi tersebut adalah dalam bentuk Tanah ulayat dan 
anggota berperan sebagi pemilik (investor), tenaga kerja dan pasar (konsumen) 
dari hasil-hasil olahan produksi koperasi. Ketiga faktor penting ini merupakan 
suatu kekuatan bagi koperasi untuk hidup di Ranah Minang secara berkelanjutan. 
Ketika pengakuan dan kepercayaan masyarakat muncul, maka bagaimana 
pengurus sebagai pemegang amanah bisa menjalankan amanah dengan baik. 
Dalam pengelolaan koperasi di nagari, penulis menawarkan beberapa langkah 
kerja :  
1. Perencanaan pendirian atau pengakuan KUD menjadi koperasi Nagari 
(KOPENA). Proses perencanaan pendirian koperasi nagari baik dalam bentuk 
pendirian baru atau mengkonversi KUD yang ada sekarang menjadi koperasi 
nagari diperlukan partisipatif, artinya melibatkan secara aktif semua komponen 
masyarakat, mulai dari tahap perencanaan pendirian, perumusan visi, misi dan 
tujuan koperasi serta perumusan kelembagaan koperasi nagari. Secara konstitusi 
koperasi muaranya adalah lahirnya draft anggaran dasar dan anggaran rumah 
tangga koperasi. Kemudian pemerintah dalam hal ini dinas koperasi berfungsi 
sebagai fasilitator dan mediator dalam proses tersebut tapi tidak terlalu  
dipaksakan dengan target waktu. Biarkan proses pemahaman masyarakat berjalan 
secara alamiah dan terarah tanpa harus dipaksakan dengan berbagai keinginan 
external masyarakat. Setelah proses pemberian kesadaran, pengetahuan dan 
pengalaman dilakukan, maka mulailah melakukan beberapa langkah kerja melalui 
musyawarah masyarakat nagari dengan agenda menetapkan pendirian koperasi 
atau menjadikan KUD sebagai koperasi nagari. Dalam kesempatan ini penulis 
menawarkan langkah kerja pendirian koperasi tersebut sebagai berikut : 
a. Pembentukan kelompok-kelompok petani berdasarkan suku atau kaum 
(paruik) dalam suku. Disetiap nagari minimal ada 3 sampai 5 buah suku : 
Piliang, Melayu, Caniago, Bodi, Koto. Kelompok tani berdasarkan suku yang 
dipimpin oleh ketua kelompok suku yakni penghulu suku / mamak induak 
(datuk) karena mamak itu berfungsi sebagai pembimbing kemenakan maka 
beliau lah yang dipercaya menjadi ketua kelompok suku. Masing-masing suku 
memiliki bidang garapan atau tanah ulayat untuk diolah sebagai lahan 
perkebunan atau jenis usaha lain. 
b. Penggabungan Kelompok, Dari kelompok-kelompok suku tersebut 
dilakukan penggabungan sehingga terbentuklah koperasi nagari. Maka proses 
selanjutnya adalahj bagaimana menjalankan Koperasi secara profesional 
dengan mengkombinasikan beberapa faktor penting. Yang jelas dinagari telah 
ada potensi nagari dalam bentuk tanah ulayat, batang air, hutan, rimba, lahan 
kritis, laut, danau, rawa, peninggalan2x sejarah, tambak, sawah, ladang, 
dengan berbagai hasil-hasil produksi masyarakat seperti : kayu, pasir, batu, 
padi, ikan, jagung, sayuran, hasil tenun dan lain sebagainya.  

3.3. Manajemen Pengelolaan Koperasi Nagari. 
    Pengaturan dan pengelolaan koperasi seharusnyua dilakukan secara 
professional, dengan fungsi-fungsi manajemen dan pengkombinasikan skill-skill 
yang ada baik skill teknikal maupun skill manajerial. Dalam kegiatannya koperasi 
perlu melakukan pengaturan dalam manajemen keanggotaan dan pengurus 
(SDM), manajemen usaha (teknis), manajemen keuangan dan permodalan serta 
manajemen pemasaran.  
3.3.1. Manajemen Sumber Daya Manusia 
Keanggotaan 
Keanggotaan koperasi nagari bersifat sukarela dan terbuka bagi warga 
negara, karena warga minang sangat egaliter, orang suku non minang pun bisa 
menjadi cucu dan kemenakan salah satu suku di minangkabau dengan istilah 
("kemenakan malakok") Anggota kopersi dikelompokan berdasarkan kaum dalam 
sukuyang dibimbing oleh penghulu suku. Dalam pengaturan keanggotaan, 
biasanya disetiap suku ada dua kelompok yakni urang sumando (laki-laki yang 
nikah ke suatu suku) sebagai kepala keluarga yang mengolah harta keluarga dan 
ninik mamak (anak laki-laki dari suku tersebut). Dalam keluarga mamak berfungsi 
sebagai pembimbing kemenakan. Maka dalam kelompok itu peran mamak 
kembali diperkuat dan memang secara sosiologis masyarakat minang masih 
mengakui kewibawaan, peran dan fungsi mamak dalam keluarga. 
Pengurus dan Pengawas 
Pengurus dan Pengawas koperasi adalah anggota yang dipilih oleh anggota 
dalam rapat anggota koperasi. Kepemimpinan koperasi harus dilakukan secar 
kolektif antar seluruh komponen yang ada, baik itu kelompok (suku), 
kelembagaan adat seperti penghulu, alim (imam, khatib, bilal) dan cerdik pandai 
nagari. Kemudian untuk menjalankan operasional koperasi, maka ditunjuklah 
beberapa manajer yang dipilih dari cerdik pandai nagari seperti anak nagari yang 
telah menyelesaikan pendidikannya keperguruan tinggi atau yang memiliki 
keahlian dan keterampilan professional dalam usaha yang akan dijalankan 
koperasi. Untuk menjaga konsistensi dan kelanjutan koperasi yang didirikan, 
maka perlu ada program pencerdasan dalam bentuk program pendidikan dalam 
konteks umum dan pendidikan profesional dalam bentuk keterampilan baik 
kepada anggota maupun kepada pengurus.    
3.3.2. Manajemen Usaha (Teknis) 
Dari tema dan penjelasan sebelumnya di ranah minang ada sebuah potensi 
nagari yang sudah dikelola, tapi belum tepat pengelolaannya dalam bentuk PIR-
BUN dan lain-lain. atau tanah ulayat yang belum dikelola sama sekali seperti 
seperti dalam bentuk lahan-lahan kosong yang ditumbuhi dengan rumput-
rumputan, atau lahan kritis yang sebenarnya bisa dikelola. Dalam pengelolaan 
tanah ulayat disetiap suku / kelompok, serta teknisnya masing-masing suku 
membagi ulayat kaum kepada anak, cucu dan kemenakan, sedangkan produk 
dihasilkan desrahkan sepenuhnya kepada masing-masing suku / kelompok. Untuk 
tahap awal anggota/ masyarakat nagari masih membutuhkan barang-barang 
konsumsi sehari-hari, maka koperasi memprioritaskan kebijakannya dalam 
pemenuhan kebutuhan anggota. Untuk itu perlu dilakukan dipersifikasi 
(penganekaragaman) produk koperasi di nagari, sehingga satu kelompok 
menghasilkan produk untuk kelompok lain dan sebaliknya. seperti contoh 
Kelompok A menanam "sayur lobak" maka kelompok lain menanam tanaman 
"padi". Namun jika koperasi atau kebutuhan masyarakat telah sampai pada masa 
konsumsi tinggi atau telah maju maka kegiatan usahanya diarahkan kesektor 
industri, jasa dan pemenuhan bahan baku atas industri tersebut, seperti usaha 
perabot, maka kelompok lain bergerak pada usaha pengambilan kayu dan 
pengiriman.  
3.3.3. Manajemen Keuangan dan Permodalan 
Dalam halnya koperasi nagari sudah dijelaskan, bahwa sudah ada suatu 
potensi dalam bentuk modal tanah ulayat seperti rimba, tanah kosong, batang air, 
perbukitan, pegunungan yang bisa dikelola secara bersama. Namun tentunya harus 
ada modal kerja untuk menjalankan usaha bisnis tersebut maka ada dua sumber 
yang bisa digunakan yaitu : 
(1). Modal Sendiri, yakni modal yang bersumber dari anggota yang terdiri dari 
simpanan pokok dan simpanan wajib anggota dalam menetukan besaran 
nominal yang harus diberikan oleh anggota, harus berdasarkan kemampuan 
anggota. Namun perlu diperhatikan, untuk saat ini diharapkan partisipasi aktif 
anggota, karena dalam usaha ini anggota akan menggantungkan kebutuhan 
ekonomisnya kepada koperasi. Disamping itu masih ada sumber lain seperti 
dalam bentuk modal donasi/bantuan dari pemerintah daerah atau bantuan dari 
rantau, karena minang sebagian besar anak nagari usia produktif banyak yang 
merantau, akan tetapi masih memiliki hubungan kultural dan emosional 
dengan masyarakat Sumatera Barat. 
(2). Modal asing adalah sejumlah modal yang bersumber dari pinjaman utang 
jangka pendek atau jangka panjang baik dari anggota maupun dari luar 
anggota. Untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan koperasi, maka 
perlu kebijakan kredit dari pemerintah daerah melalui Bank Nagari dan BPR- 
Nagari , BRI atau modal penyertaan (modal ventura) (PT Sarana Sumatera 
Barat Ventura). Bantuan modal ini dapat mendukung berbagai program yang 
dilakukan oleh nagari, seperti eksploitasi dan pemanfaatan sumber daya alam 
nagari. 
(3). Manajemen Keuangan, dalam pengelolaan keuangan, koperasi nagari harus 
memiliki suatu sistem akuntansi yang diterapkan secara baku dengan 
berpedoman pada standar akuntansi koperasi (keuangan) yang telah 
ditetapkan IAI (Ikatan Akuntansi Indonesia). Sistem pencatatan disesuaikan 
dengan kebutuhan koperasi dengan rasional jenis usaha, volume usaha dan 
kegiatan usaha yang dijalankan. Operasionalisasinya dilakukan oleh tenaga-
tenaga profesional yang ditunjuk dan dipilih oleh pengurus koperasi nagari.  
3.3.4. Manajemen Pemasaran 
Pemasaran diartikan sebagai suatu proses usaha untuk memudahkan 
barang dan jasa dari lokasi produsen ke konsumen akhir, maksud dari proses 
usaha tersebut adalah proses pabrikan atau produsen dapat mencapai tujuannya 
yaitu memuaskan pembeli atau konsumen (Sukamdiyo : 1996). Kalau kita balik 
pada proses usaha koperasi nagari diatas, bahwa ada koperasi nagari yang berada 
pada masa transisi dari tradisional ke modern, dan ada pula koperasi nagari berdiri 
pada masyarakat modern. Tradisional dalam arti bahwa produksi yang akan 
dijalankan masih bersifat produksi primer dalam bentuk bahan baku untuk proses 
pabrikase atau dalam bentuk hasil-hasil hutan dan hasil pertanian tradisional.Pada 
koperasi ini pemasaran produk diarahkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat 
nagari dan kelebihannya dijual ke luar nagari . Proses selanjutnya diarahkan untuk 
ditingkatkan manjadi usaha bersifat produksi dalam bentuk jasa dan industri kecil 
rumah tangga. 
Jika koperasi nagari berada pada masyarakat modern, dimana tingkat 
konsumsi masyarakat telah berada pada konsumsi dengan barang-barang hasil 
industri dan mewah, maka diupayakan pemasaran produk untuk pemenuhan 
kebutuhan anggota dengan menjual atau membeli barang antar nagari, daerah, dan 
luar negeri (eksport).  
Dalam strategi pemasaran tentu produk yang dihasilkan harus berorientasi 
pada pasar (marked oriented). Dalam hal ini penulis menawarkan paradigma baru 
dalam praktek transaksi di koperasi dengan sistem " menjual dan membelikan" 
maksudnya adalah koperasi difungsikan sebagai agen untuk menjualkan produk 
atau jasa yang dibutuhkan oleh anggota, dan membelikan produk atau jasa yang 
dibutuhkan anggota. Untuk jasa ini koperasi di berikan komisi sekian persen yang 
harus ditetapkan dalam rapat anggota.  
Dengan paradigma dan strategi ini minimal akan mengurangi kerakusan 
koperasi sebagai penjual untuk mendapatkan keuntungan dan sebagai pembeli 
akan mengurangi rasa ingin menekan untuk mencari keuntungan, sebagai upaya 
meningkatkan prestasi pengurus, dan SHU tinggi yang dilaporkan kepada anggota 
dalam rapat anggota. Dengan strategi ini koperasi, tidak perlu menyediakan modal 
kerja yang besar dalam pengelolaan koperasi tetapi cukup dengan modal 
kepercayaan yang harus dijaga secara baik oleh pengurus koperasi.  
Dalam proses pengelolaan faktor-faktor produksi dan mengkombinasikan 
antara tanah ulayat, masyarakat nagari (tenaga kerja) dan investasi, maka minimal 
dalam proses ini akan menimbulkan usaha-usaha baru di nagari seperti 
perkebunan, sekolah, pertanian, tarnbak, kolam, penggemukan sapi, tempat 
rekreasi dan lain-lain. Dengan adanya usaha-usaha tersebut rnaka akan 
menimbulkan barang atau jasa di koperasi yang bisa dijual kepada masyarakat 
sendiri atau dibeli oleh orang lain. Kita mungkin tidak akan perlu lagi mengimpor 
sapi dari Australia, gandum dari Amerika serikat, kedelai dari Brazil. Secara 
praktis dilapangan ada beberapa peluang pendirian dan pengembangan koperasi 
nagari, seperti masyarakat petani garnbir di kabupaten 50 kota, selama ini petani 
gambir mengolah lahan dan memasarkan basil gambir dengan sendiri-sendiri, atau 
bekerja sarna dengan para pedagang perseorangan (lintah darat). Produk garnbir 
yang dihasilkan tidak optimal sehingga pendapatan petani juga tidak seimbang 
dengan pekerjaan yang dilakukan, begitu pula halnya dengan pemasaran getah 
gambir. Seringkali dipermainkan oleh pedagang, terutarna dalam penentuan harga 
jual, sementara harga sebenarnya tetap tinggi di pasar internasional. Dalam 
pemasaran getah garnbir ini, para pedagang dan exportir gambir mengekspor ke 
India, Singapura dan Inggris. Kalaulah koperasi bisa bermain, maka sangat besar 
peran yang bisa dijalankan untuk membantu kesejahteraan masyarakat, tentunya 
peran koperasi tersebut dimulai dari kemauan secara bersama dari masyarakat 
nagari untuk mernecahkan persoalannya, melalui sebuah kelembagaan dalarn 
bentuk badan hukum koperasi. Koperasi bisa rnelakukan usaha dalam hal 
pengembangan pengelolaan lahan pertanian, proses produksi (pengampoan) 
gambir dan pemasaran gambir, dan pengembangan produk gambir menjadi 
produk setengah jadi atau jadi. Kenapa MustikaRatu harus mernbeli gambir dari 
Singapura sebesar Rp. 100.000/Kg,  sementara di Padang hanya Rp. 8.500,- /Kg 
.masih banyak lagi contoh peluang dan potensi nagari yang bisa dikelola oleh 
masyarakat dalam masa otonomi daerah di berbagai nagari di Surnatera Barat.  
Data terakhir 2001, terdapat 450 buah nagari yang akan menjadi 
pemerintahan nagari di Sumatera Barat, yang memiliki kekayaan fisik dan non 
fisik ( kelembagaan adat, adat istiadat, kesenian dan aturan nagari). Sebagai 
contoh lain dalam hal potensi hutan rimba, koperasi masyarakat nagari Muaro Sei 
Lolo di kabupaten Pasaman, selama ini kayu- kayu yang ada kebanyakan hanya 
ditebang dan kemudian dibakar oleh para penduduk untuk dijadikan lahan 
perkebunan dan lahan padi berpindah-pindah, maka kedepan ini bisa dikelola 
dengan baik dimana basil hutan bisa dimanfaatkan secara bersama oleh 
masyarakat dalam bentuk koperasi dan lahan tersebut kemudian diolah dengan 
baik dengan mempertimbangkan aspek lingkungan.  
Akibat dari berjalannya sektor real (usaha) maka ada berapa dampak 
ekonomi yang akan muncul yakni timbulnya pekerjaan masyarakat di sektor 
pertanian dan pemasaran sehingga pendapatan masyarakat bisa ditingkatkan. 
Dengan demikian akan memberikan kontribusi secara langsung dan tidak 
langsung terhadap pendapatan asli daerah dalam bentuk retribusi daerah (retribusi 
pasar / retribsi basil bumi) dan pajak- pajak pemerintah dalam bentuk pajak 
penghasilan, PKB, PPN dan lain-lain. Asumsi ini dilatarbelakangi karena daya 
beli masyarakat naik sehingga masyarakat juga akan berbelanja pada barang-
barang objek pajak.   

3.4. Koperasi dan Pembangunan Daerah  
Ketika Koperasi menjadi kelembagaan ekonomi masyarakat nagari bisa 
terwujud, maka ini sebuah "starting point" untuk pengembangan ekonomi 
masyarakat Sumatera Barat kedepan. Kesimpulan ini didasari oleh karena 
landasan idiologis dan landasan ekonomis koperasi memiliki kelebihan-kelebihan, 
seperti prinsip-prinsip keadilan, demokratisasi kemandirian, pemberian hasil sisa 
usaha atas jasa koperasi, kerjasama antar koperasi, (UU Koperrasi no 25/1992). 
Tinggal bagaimana faktor Eksternal dalam koperasi dan faktor internal sejalan dan 
sinergis.  
Antar kebijakan-kebijakan pemerintah daerah dengan kebijakan dan 
kepentingan masyarakat banyak yang bisa dimachingkan disesuaikan. Kebijakan 
kredit koperasi nagari sebagai basis ekonomi masyarakat, perlu didorong dan 
dimotivasi melalui kegiatan, pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan 
kapasitas personal pengurus dan anggota koperasi, dan menetapkan insentif yang 
tinggi terhadap personal yang bekerja di sektor koperasi sehingga sumber daya 
manusia yang berkualitas bisa tertarik masuk ke koperasi dan memberikan 
kontribusi utama dalam pertumbuhan dan perkembangan koperasi ke depan.  
Memang selama ini diakui bahwa koperasi selalu dihadapkan dengan 
persoalan-persoalan internal seperti permodalan, keterbatasan tenaga manusia 
yang memiliki skill dan pengetahuan, yang berbasis teknologi dan keilmuan, 
sehingga persoalan ini perlu distimulus oleh pengambil kebijakan dalam bentuk 
investasi pada sektor koperasi dan penaikan tarif insentif bagi pekerja di lembaga 
koperasi.  
Ketika faktor eksternal (kebijakan) dan faktor internal koperasi telah 
berjalan secara sinergis, maka munculah koperasi yang tumbuh dan berkembang 
sesuai dengan tuntutan masyarakat. Persoalnnya adalah bagaimana pula koperasi 
bisa memberikan kontribusi yang berarti terhadap pembangunan daerah kerja 
dalam bentuk pembangunan fisik dan mental masyarakat .Disini yang menjadi 
pokok program dan kegiatan koperasi adalah bagaimana koperasi bisa berarti bagi 
masyarakat. Pengurus yang memiliki otoritas dan mandat dari Rapat Anggota 
(RAT) perlu menterjemahkan visi dan tujuan ini dalam bentuk program kerja, dan 
pengalokasian anggaran dalam bentuk distribusi sisa hasil usaha yang lebih besar 
untuk sumbangan pembangunan daerah kerja, seperti pembangunan fasilitas 
umum berupa pendidikan, tempat ibadah, sarana transportasi, rumah sakit, 
pemeliharaan gedung, peralatan umum, dan sumbangan terhadap sektor pendi- 
dikan, baik pendidikan dalam bentuk peningkatan kualitas personal pengurus, 
anggota tidak kalah penting adalah peningkatan kualitas generasi ke depan yakni 
anak-anak nagari yang berada pada usia sekolah, baik berupa pemberian program 
beasiswa maupun bantuan dana pendidikan untuk lembaga-lembaga pendidikan 
umum dan agama di nagari dan Sumatera Barat secara umum atau SHU ini dapat 
merupakan sumber pendapatan daerah dalam APBD karena semua pihak, baik 
pemerintah maupun masyarakat berperan untuk menciptakan sisa hasil usaha, dan 
mekanisme ini tentu menjadi kekuasaan dan wewenang dalam Rapat Anggota 
Tahunan Koperasi.                

IV. KESIMPULAN DAN SARAN  

4.1. Kesimpulan  
Dari penjelasan pada pembahasan maka penulis berkesimpulan :  
a.  Dari penjelasan sebelumnya koperasi mampu berperan untuk meningkatkan 
pendapatan masyarakat pemerintah daerah dengan catatan ada kemauan secara 
bersama dari semua pihak untuk menjadikan koperasi sebagai kepemilikan 
bersama (komunal) dalam bentuk usaha pengelolaan tanah ulayat nagari yang 
dibentuk oleh permodalan lokal maupun bantuan dan dukungan dari pihak luar 
koperasi sehingga persoalan tanah ulayat bisa diselesaikan secara baik dengan 
pendekatan kultural masyarakat.  
b.  Koperasi sebagai lembaga ekonomi masyarakat di nagari memiliki peran yang 
sangat penting, cocok karena mengedepankan kepemilikan bersama dan 
prinsip keadilan untuk mengelola dan mengoptimalkan potensi nagari maka 
pendapatan masyarakat nagari bisa ditingkatkan dengan Demikian secara tidak 
langsung akan berpengaruh pula Terhadap Pendapatan asli daerah (PAD).   

4.2. Saran  
Dalam kesempatan ini izinkanlah penulis memberikan saran kepada pihak-
pihak terkait :  
a.  Kepada pemerintah, diharapkan agar kebijakan publik dalam hal ekonomi 
selalu berangkat dari pemikiran dan pemahaman bahwa kebijakan tersebut 
akan memberikan dampak positif terhadap rakyat, maka penulis menyarankan 
agar pengelolaan tanah ulayat seharusnya diserahkan kepada masyarakat.  
b. Kepada penghulu dan seluruh komponen masyarakat nagari, diharapkan 
terbuka terhadap masukan dan pemikiran yang rasional yang memiliki nilai-
nilai keadilan, dari mulai mendiskusikan, menelaah dan melakukan usaha-
usaha konkrit untuk mewujudkan koperasi sebagai lembaga ekonomi 
masyarakat nagari.  

Oleh : Yulhendri