Friday, May 24, 2013

Apakah SMK3 dan OHSAS 18001 sama?


   Sistem Manajemen Kesehatan Keselamatan Kerja (SMK3)  seperti yang diatur dalam PP No 50 Tahun 2012 merupakan  bagian dari sistem  manajemen secara keseluruhan yang meliputi stuktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan penerapan, pencapaian, pengkajian dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja  dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat  kerja yang aman, efisien dan produktif. SMK3 adalah standar serupa dengan Occupational Health and Safety Assessment Series (OHSAS) 18001, standar ini dibuat oleh beberapa lembaga sertifikasi dan lembaga standarisasi kelas dunia. SMK3 merupakan alat bantu yang dapat digunakan untuk memenuhi tuntutan dan persyaratan yang ada  dan berlaku yang berhubungan dengan jaminan keselamatan kerja dan kesehatan kerja. SMK3 merupakan sebuah sistem yang dapat diukur dan dinilai sehingga kesesuaian terhadapnya menjadi obyektif. SMK3 digunakan sebagai patokan dalam menyusun suatu sistem manajemen yang berfokus untuk mengurangi dan menekan kerugian dalam kesehatan, keselamatan dan bahkan properti.
   Diharapkan melalui penerapan sistem ini perusahaan dapat memiliki lingkungan kerja yang sehat, aman efisien dan produktif. SMK3 bertujuan untuk mengidentifikasi penyebab dan potensi  kecelakaan kerja sebagai acuan dalam melakukan tindakan mengurangi risiko. Selain itu, penerapan SMK3 membantu pimpinan perusahaan agar mampu melaksanakan standar K3 yang merupakan tuntutan masyarakat nasional dan internasional.
   Dalam menerapkan Sistem Manajemen K3 (SMK3) ada beberapa tahapan yang harus dilakukan agar SMK3 tersebut dapat di kembangkan menjadi efeketif, karena SMK3 mempunyai elemen-elemen atau persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dibangun didalam suatu organisasi atau perusahaan. Sistem Manajemen K3 juga harus ditinjau ulang dan ditingkatkan secara terus menerus didalam pelaksanaanya untuk menjamin bahwa sistem itu dapat berperan dan berfungsi dengan baik serat berkontribusi terhadap kemajuan perusahaan.

 http://gsconsultindonesia.com/

Apakah SMK3?

   Organisasi yang menjalanlan kegiatannya, secara prinsip akan muncul resiko terkait dengan kesehatan keselamatan kerja dan sebagai konsekuensi maka resiko kesehatan keselamatan kerja harus di kendalikan oleh organisasi tersebut  sehingga tidak berdampak negatif. Dan hal ini menjadi tuntutan kebutuhan baik bagi karyawan, masyarakat sekitar, pelanggan  termasukpemerintah untuk melindungi warga negaranya.  Oleh karena itulah pemerintah Indonesia juga berkomitmen sanggat tinggi untuk melindungi serta menjamin kesehatan keselamatan kerja setiap warganya terutama yang bekerja pada institusi tertentu. Melalui Undang-Undang No 13 Tahun 2003 pasal  86 dan 87, tentang perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja terhadap tenaga kerja, dan Setiap perusahaan yang memperkerjakan tenaga kerja diatas seratus orang atau memiliki resiko besar terhadap keselamatan dan kesehatan kerja wajib menerapkan Sistem Manjemen Kesehatan Keselamatan Kerja (SMK3) , sesuai dengan UU No.1 tahun 1970, Permenaker No.Per.02/Men/1992 dan Permenaker No.Per.04/Men/1987.
    Kemajuan teknologi kian berkembang pesat, namun di sisi lain turut menjadi penyebab masalah  pada keselamatan dan kesehatan kerja. Masalah ini harus sesegera mungkin diatasi, karena cepat  atau lambat dapat menurunkan kinerja dan produktivitas suatu perusahaan baik pada sumber daya  maupun elemen lainnya. Oleh karena itu sangat penting bagi suatu perusahaan untuk menerapkan.Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (SMK3) seperti yang diatur dalam Peraturan  Pemerintah  No 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Kesehatan Keselamatan Kerja (SMK3). Persyaratan ini sebenarnya sebuah kewajiban biasa,  bukan beban yang harus ditanggung setiap perusahaan. Kewajiban karena seharusnya sudah  diperhitungkan sebagai investasi perusahaan. Dianggap sebagai beban karena belum seluruh perusahaan melakukannya.

 http://gsconsultindonesia.com/

Persiapan Sertifikasi ISPO

     Seperti juga sistem manajemen  lain seperti :ISO 9001, ISO 14001, OHSAS 18001/SMK3, ISO 22000, SA 8001 dan lain-lain, sebelum mengajukan sertifikasi, perlu melakukan pembenahan di internal perusahaan terkait pemenuhan prinsip-prinsip ISPO. Langkah-langkah yang dapat digunakan adalah:
Langkah pertama:
    Melakukan gap analisis untuk mengetahui seberapa jauh  perbedaan  menejemen system yang dimiliki  di bandingkan dengan pedoman ISPO. Perusahan-perusahan yang sudah menerapkan standar internasional  seperti :ISO 9001, ISO 14001, ISO 22000, OHSAS 18001, ISO 26000, SA 8001 maka akan semakinmudah untuk menerapkan dan sertifikasi ISPO
Langkah ke dua
1. Mendisain dan mengembangkan sistem yang mengacu pada pedoman ISPO melalui:
    • Menetapkan ruang lingkup sistem
    • Pelatihan pedoman ISPO
    • Mengembangkan Kebijakan,  Sasaran, Prosedur, Instruksi kerja, formulir dan lain-lain
2. Mengimplementasikan sistem ISPO secara efektif di seluruh fungsi perusahaan
3. Melakukan pemantauan pengukuran yang mencakup keseluruhan aspek baik
    lingkungan, sosial, dll
4. Melakukan evaluasi efektif sistem melalui  internal audit, kajian manajemen
5. Melakukan  peningkatan efektif sistem secara berkelanjutan
Langkah ke tiga:
    Setelah pengembangan dan perbaikan sistem manajemen mencau pada pedoman  ISPO  sudah memenuhi, perusahaan mengajukan sertifikasi kepada badan sertifikasi sesuai pilihannya. Ruang lingkup yang disertifikasi adalah kebun sendiri dan pabrik kelapa sawit (PKS), perusahaan berkewajiban mensosialisasikan ISPO kepada para pemasok TBS dari perkebunan lain jika menerima TBS selain kebun sendiri.
   Masa berlaku sertifikat ISPO adalah selama 5 tahun sebelum dilakukan penilaian ulang (re-assesment) dan sekali dalam setahun dilakukan audit pengawasan (survailance).

  http://gsconsultindonesia.com/

standar / pedoman ISPO

     ISPO ( Indonesia Sustainable Palm Oil) merupakan sistem usaha di bidang perkebunan kelapa sawit  yang layak ekonomi, layak sosial, dan ramah lingkungan yang di dasarkan pada  peraturan perundang-undangan di indonesia.  Pedoman ISPO ini mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/3/ 2011. Dalam standar/ pedoman ISPO mengacu pada 4 prinsip dasar  yakni;
    • Kepatuhan hukum
    • Kelayakan usaha
    • Pengelolaan lingkungan dan
    • Hubungan sosial
    Keempat prinsip dasar pengelolaan  dan pengolahan produk kelapa sawit  tersebut kemudian di rumuskan ke dalam prinsip-prinsip sebagai berikut:
  1. Sistem perijinan dan manajemen perkebunan
  2. Penerapan pedoman teknis budidaya dan pengolahan kelapa sawit
  3. Pemantauan dan pengelolaan lingkungan
  4. Tangung jawab terhadap pekerja
  5. Tangung jawab sosial dan komunitas
  6. Pemberdayaan ekonomi masyarakat
  7. Peningkatan usaha secara berkelanjutan
    Ke  tujuh prinsip tersebut  kemudian di atur dalam pedoman  atau  standar ISPO yang ditetapkan  dalam Peraturan Menteri Pertanian  No. 19 / 2011  yang terdiri dari  39 (41) kriteria dan 128 Indikator. Adapun 39 (41) kriteria itu adalah sebagai berikut:


1.0. Sistem Perijinan dan Manajemen Perkebunan
1.1. Perizinan dan sertifikat.
Pengelola perkebunan harus memperoleh perizinan serta sertifikat tanah.
1.2. Pembangunan kebun untuk masyarakat sekitar
Perusahaan perkebunan yang memiliki IUP atau IUP-B wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% dari total luas areal kebun yang diusahakan
1.3. Lokasi Perkebunan
Pengelola perkebunan harus memastikan bahwa penggunaan lahan perkebunan telah sesuai dengan Rencana Umum Tataruang Wilayah Provinsi (RUTWP) atau Rencana Umum Tataruang Wilayah Kabupaten/Kota (RUTWK) sesuai dengan perundangan yang berlaku atau kebijakan lain yang sesuai dengan ketetapan yang ditentukan oleh pemerintah atau  pemerintah setempat.
1.4. Tumpang Tindih  dengan Usaha Pertambangan
Pengelola usaha Perkebunan apabila di dalam areal perkebunannya  terdapat Izin Usaha Pertambangan  harus diselesaikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
1.5. Sengketa Lahan dan Kompensasi
Pengelola perkebunan harus memastikan bahwa lahan perkebunan yang digunakan  bebas dari status sengketa dengan masyarakat/petani disekitarnya. Apabila terdapat sengketa maka harus diselesaikan secara musyawarah untuk mendapatkan kesepakatan sesuai dengan peraturan perundangan dan /atau ketentuan adat yang berlaku namun bila tidak terjadi kesepakatan maka penyelesaian sengketa lahan harus menempuh jalur hukum.
1.6. Bentuk Badan Hukum
Perkebunan kelapa sawit yang dikelola harus mempunyai bentuk badan hukum yang jelas sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
1.7. Manajemen Perkebunan
Perkebunan harus memiliki perencanaan jangka panjang untuk memproduksi minyak sawit lestari.
1.8. Rencana dan realisasi pembangunan kebun dan pabrik
1.9. Pemberian informasi kepada instansi terkait sesuai ketentuan yang berlaku dan
       pemangku kepentingan lainnya terkecuali  menyangkut hal yang patut dirahasiakan
 2.0.Penerapan Pedoman Teknis Budidaya dan Pengolahan Kelapa Sawit
2.1.Penerapan pedoman teknis budidaya
2.1.1. Pembukaan lahan
  Pembukaan lahan yang memenuhi kaidah-kaidah konservasi tanah dan air
2.1.3 Konservasi Terhadap Sumber dan Kualitas Air
2.1.3. Perbenihan
Pengelola perkebunan dalam menghasilkan benih unggul bermutu harus mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan baku teknis perbenihan.
2.1.4. Penanaman pada lahan mineral
   Pengelola perkebunan harus melakukan penanaman sesuai baku teknis
2.1.5. Penanaman pada Lahan Gambut
Penanaman kelapa sawit pada lahan gambut dapat dilakukan dengan memperhatikan karakteristik lahan gambut sehingga tidak menimbulkan kerusakan fungsi lingkungan
2.1.6. Pemeliharaan tanaman
2.1.7. Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)
Pengelola perkebunan harus menerapkan sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT) sesuai Pedoman Teknis.
2.1.8. Pemanenan
Pengelola perkebunan melakukan panen tepat waktu dan dengan cara yang benar
2.2. Penerapan pedoman teknis pengolahan hasil perkebunan.
2.1.1. Pengangkutan Buah.
Pengelola perkebunan harus memastikan bahwa TBS yang dipanen harus segera diangkut ke tempat pengolahan untuk menghindari penurunan kualitas.
2.1.2. Penerimaan TBS di Pabrik
Pengelola pabrik memastikan bahwa TBS yang diterima sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan.
2.2.3. Pengolahan TBS.
Pengelola pabrik harus merencanakan dan melaksanakan pengolahan TBS melalui penerapan praktek pengelolaan / pengolahan terbaik (GHP/GMP).
2.2.4. Pengelolaan limbah.
Pengelola pabrik memastikan bahwa limbah pabrik kelapa sawit dikelola sesuai dengan ketentuan yang berlaku
2.2.5. Pengelolaan  Limbah B3
Limbah B3 merupakan limbah  yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun yang karena sifat dan konsentrasinya dan atau jumlahnya dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, oleh karena itu harus dilakukan upaya optimal agar kualitas lingkungan kembali kepada fungsi semula.
2.2.6. Gangguan dari Sumber yang tidak Bergerak
Gangguan sumber yang tidak bergerak  berupa baku tingkat kebisingan, baku tingkat getaran, baku tingkat kebauan dan baku tingkat gangguan lainnya ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek kenyamanan terhadap manusia dan/atau aspek keselamatan sarana fisik serta kelestarian bangunan.
2.2.7. Pemanfaatan limbah.
Pengelola Perkebunan/Pabrik harus memanfaatkan limbah untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi dampak lingkungan.
3.0. Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan
 3.1. Kewajiban pengelola kebun yang memiliki pabrik
Pengelola perkebunan yang memiliki pabrik harus melaksanakan kewajiban pengelolaan dan pemantauan lingkungan sesuai ketentuan yang berlaku.
3.2. Kewajiban terkait analisa dampak lingkungan AMDAL,UKL dan UPL.
Pengelola perkebunan harus melaksanakan kewajibannya terkait AMDAL, UKL dan UPL  sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
3.3. Pencegahan dan penanggulangan kebakaran.
Pengelola perkebunan harus melakukan pencegahan dan penanggulangan kebakaran
3.4. Pelestarian biodiversity
Pengelola perkebunan harus menjaga dan melestarikan keaneka ragaman hayati pada areal yang dikelola sesuai dengan ijin usaha perkebunannya
3.5. Identifikasi dan perlindungan kawasan yang mempunyai nilai konservasi tinggi
Pengelola perkebunan harus melakukan identifikasi  kawasan yang mempunyai nilai konservasi tinggi yang merupakan kawasan yang mempunyai fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa  dengan tidak membuka untuk usaha perkebunan kelapa sawit.
3.6. Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca (GRK)
Pengelola usaha perkebunan harus mengidentifikasi sumber emisi GRK.
3.7. Konservasi kawasan dengan potensi erosi tinggi.
Pengelola perkebunan harus melakukan koservasi lahan dan menghindari erosi sesuai ketentuan yang berlaku.
 4.0. Tanggung Jawab  terhadap Pekerja
 4.1. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3).
Pengelola perkebunan wajib menerapkan  Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja ( SMK3 )
4.2. Kesejahteraan dan peningkatan kemampuan pekerja / buruh.
Pengelola perkebunan harus memperhatikan kesejahteraan pekerja dan meningkatkan kemampuannya.
4.3. Penggunaan Pekerja Anak dan Diskriminasi pekerja (Suku, Ras, Gender dan Agama)
Pengelola perkebunan tidak boleh mempekerjakan anak di bawah umur dan melakukan diskriminasi.
4.4. Pembentukan Serikat Pekerja.
Pengelola perkebunan harus memfasilitasi terbentuknya Serikat Pekerja dalam rangka memperjuangkan hak-hak karyawan / buruh.
4.5. Perusahaan mendorong dan memfasilitasi pembentukan koperasi pekerja
5.0. Tangung Jawab Sosial dan Komunitas
5.1. Tanggung jawab sosial dan lingkungan kemasyarakatan
Pengelola perkebunan harus memiliki komitmen sosial, kemasyarakatan dan pengembangan potensi kearifan lokal.
 5.2. Pemberdayaan Masyarakat Adat/ Penduduk Asli
Pengelola perkebunan berperan dalam mensejahterakan masyarakat adat/ penduduk asli.
 6.0.Pemberdayaan Kegiatan Ekonomi Masyarakat
 6.1. Pengembangan Usaha Lokal
Pengelola perkebunan memprioritaskan untuk memberi peluang pembelian / pengadaan barang dan jasa kepada masyarakat di sekitar kebun.
7.0. Peningkatan Usaha Secara Berkelanjutan
7.1. Pengelola perkebunan dan pabrik harus terus menerus meningkatkan kinerja (sosial  ekonomi dan lingkungan) dengan mengembangkan dan mengimplementasikan rencana aksi yang mendukung peningkatan produksi berkelanjutan.
Cukup banyak  perusahaan perkebunan negara dan swasta yang sudah menerapkan dan memenuhi prisip-prinsip pengelolaan dan pengolahan  kebun kelapa sawit keberlanjutan tersebut namun sering dalam beberapa criteria yang masih kurang seperti :
      •  mekanisme penanganan sengketa lahan dan kompensasi
      •  mekanisme pemberian informasi
      •  pelestarian keanekaragaman hayati (biodiversity)
      •  identifikasi kawasan yang memiliki nilai konservasi tinggi
      •  mitigasi emisi Gas Rumah Kaca dan
      •  realisasi tangung jawab  sosial perusahaaan.
 http://gsconsultindonesia.com/

Kenapa harus menerapkan ISPO?

     Beberapa tahun terakhir ini minyak sawit sedang menjadi sorotan dunia. Karena banyaknya isu di pasar Internasional mengenai permasalahan lingkungan yang ditimbulkan oleh perkebunan kelapa sawit.
    Salah satunya perkebunan kelapa sawit Indonesia yang dianggap tidak berkelanjutan dan tidak ramah lingkungan.  Bahkan ada yang menuduh bahwa perkebunan kelapa sawit Indonesia sebelumnya berasal dari kawasan hutan, selain itu banyak pula yang menuding kelapa sawit Indonesia menyebabkan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh berkurangnya penangkapan air serta terlalu banyaknya penggunaan pupuk yang meracuni lingkungan di sekitar areal perkebunan.   Oleh karena itulah maka Minyak sawit yang diproduksi harus memiliki berkelanjutan dan ramah lingkungan agar produknya dapat diterima oleh pasar Internasional.


    Menerapkan ISPO adalah kewajiban ( Mandatory)  bagi industri  kelapa sawit di Indonesia    dan hal ini sudah  dijabarkan dalam beberapa kebijakan Pemerintah Indonesia di antaranya :
  1. Memberlakukan Peraturan Menteri Pertanian Nomor  26/Permentan /OT.140/ 2/2007 tanggal 28 Februari 2007 tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan
  2. Memberlakukan secara resmi mulai Maret 2012 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/3/2011 tanggal 29 Maret 2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (ISPO)
  3. Membuat kebijakan bahwa kebun kelapa sawit yang sudah mendapat Kelas I, Kelas II, dan Kelas III dapat langsung mengajukan permohonan Sertifikasi ISPO; kebun kelapa sawit Kelas I, Kelas II, dan Kelas III harus menerapkan ISPO paling lambat 31 Desember 2014 dan
  4. Penerapan ISPO bersifat mandatory (harus/wajib) dalam artian semua ketentuan terkait yang berlaku di Indonesia wajib dipatuhi dan diterapkan oleh seluruh pelaku usaha perkebunan kelapa sawit serta akan ditindak bagi yang melanggar
    Dengan menerapkan ISPO ( Indonesia Sustainable Palm Oil) secara konsisten maka di harapkan dapat memberikan manfaat bagi industri kelapa sawit  yakni:
  1. Meningkankan  posisi tawar produk kelapa sawit di mata pelanggan
  2. Memperbaiki citra perusahaan
  3. Mencegah  kerusakan lingkungan dan ekosistem
  4. Meningkatkan mutu produk dan pelayanan
  5. Meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan, masyarakat serta kesejahteraan  sosial
  6. Menciptakan keungulan comparative
  7. Menjaga pertumbuhan dan keberlangsungan bisnis

Adapun tujuan mengembangkan dan menerapkan ISPO bagi pemerintah Indonesia adalah:
  1. Meningkatkan kesadaran akan pentingnya memproduksi  Minyak sawit yang lestari
  2. Meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar global
  3. Mendukung komitmen Indonesia untuk mengurangi Gas Rumah Kaca ( GRK)
  4. Mendukung komitmen unilateral Pemerintah Indonesia di Kopenhagen (2009) dan Program Based Line on LOI Indonesia dan Norwegia (2010).
  5. Memposisikan pembangunan kelapa sawit sebagai bagian integral dari pembangunan ekonomi Indonesia
  6. Memantapkan sikap dasar bangsa Indonesia untuk  memproduksi minyak kelapa sawit berkelanjutan sesuai tuntutan masyarakat global
  7. Mendukung komitmen Indonesia dalam pelestarian Sumber Daya Alam dan fungsi lingkungan hidup.
 http://gsconsultindonesia.com/

Pengembangkan dan Sertifikasi ISPO ( Indonesia Sustainable Palm Oil) di Industri Kelapa Sawit

Indonesia sebagai negara produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia yakni 44 %  dari produksi  minyak nabati dunia  dan   menggeser  malaysia  yakni 41% maka sudah menjadi kewajaran Indonesia memiliki standar dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan (sustainable) menggacu pada Peraturan Menteri Pertanian no 19 Tahun 2011. Harga minyak dunia (Crude oil) yang selalu meningkat  juga   menjadikan  pembicaraan yang hangat mengenai kemungkinan pengunaan minyak kelapa sawit menjadi biofuel.
Beberapa tahun sebelumnya telah terdapat standar pengelolaan  kebun dan pengolahan kelapa sawit yang berkelanjutan yakni RSPO ( Roundtable Sustainable Palm Oil) yang secara sukarela (voluntary) dapat di terapkan. Standar RSPO merupakan standar yang di buat berdasarkan kesepakatan /Roundtable para pemangku kepentingan dalam industri kelapa sawit seperti konsumen, produsen, LSM lingkungan internasional. RSPO ini menjadi wadah komunikasi para pihak yang berkepentingan untuk menyamakan presepsi tentang konsep berkelanjutan (sustainability).
ISPO muncul sebagai inisiatif  Pemerintah Indonesia terutama Kementerian Pertanian atas kesadaran /deklarasi bahwa pengelolaan sumberdaya alam termasuk perkebunan kelapa sawit harus di lakukan secara berkelanjutan  (sustainable), jadi sertifikasi ISPO bukan untuk mengganti atau menyaingi sertifikasi RSPO yang sebelumnya sudah ada terlebih dahulu.
Menteri Pertanian dalam  rangka penerbitan  standar / pedoman ISPO menyatakan bahwa sebagai amanat konstitusi UUD pasal 33 ayat 3, bahwa perekonomian nasional di selengarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.


 http://gsconsultindonesia.com/

Why RSPO Certification

    The Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) is a global, multi-stakeholder initiative on sustainable palm oil. Members and participants in its activities come from many different backgrounds and include environmental NGOs, banks and investors, growers, processors, manufacturers and retailers of palm oil products and social NGOs. They come from many countries that produce or use palm oil. The principal objective of the RSPO is “to promote the growth and use of sustainable palm oil through co-operation within the supply chain and open dialogue between its stakeholders.

    The RSPO Principles and Criteria for Sustainable Palm Oil Production (Including Indicators and Guidance October 2007) are the global guidelines for producing palm oil sustainably. They have been described as the world's toughest standards for sustainable agriculture production and have been variously adapted for other crops. No public claims relating to sustainable palm oil production, to the RSPO P & C, can be made without RSPO approved third party inspection.

   The palm oil supply chain, from the tropics to its use as an ingredient in retail productts all over the world, is is complex. To preserve the integrity of RSPO palm oil, players along the supply chain wishing to use it have to do so transparently to allow traceability. The transparency and traceability is assured through RSPO Supply Chain Certification


www.rspo.org